Gotong royong, sebuah warisan budaya yang tak ternilai, kini terasa semakin luntur. Di tengah kesibukan modern, semangat kebersamaan dan tolong-menolong perlahan digantikan oleh individualisme. Dulu, setiap sudut desa adalah saksi bisu bagaimana masyarakat bahu-membahu membangun jembatan, membersihkan sungai, atau sekadar mempersiapkan hajatan. Hari ini, kita jarang lagi melihat pemandangan itu. Mampukah kita mengembalikan kembali nyawa gotong royong yang telah memudar?

Pergeseran nilai ini menciptakan berbagai persoalan. Lingkungan desa menjadi kurang terawat. Jalan-jalan desa yang rusak tidak segera diperbaiki. Saluran air tersumbat dan sampah berserakan, menyebabkan banjir saat musim hujan tiba. Acara-acara adat atau kegiatan sosial yang membutuhkan banyak tenaga seringkali terhambat karena minimnya partisipasi warga. Hubungan antarwarga pun menjadi renggang dan rasa kekeluargaan yang dulu erat kini terasa asing. Masyarakat lebih sibuk dengan urusan masing-masing, dan gotong royong dianggap sebagai beban, bukan lagi sebagai cerminan budaya luhur.

Seperti yang dilakukan Agassingka Vergi Kuswara Kepala Dusun IV Desa Bujung Buring, melaksankan pembersihan saluran air secara gotong royong pada hari minggu, 24 Agustus 2025. Warga semangat : ada menebas dan mebersihkan tanama liar yang ada disekitar jalan tersebut. Jalan menjadi lapang, rapi dan memberi kenyamanan kepada pengguna jalan desa